Terinspirasi dari Kisah Nyata yang sangat menyayat hati dan membuat kita semakin bersyukur atas apa yang sudah Allah taqdirkan untuk kita:
Ijinkan saya memulai cerita ini,
Aku membencinya, itulah yang selalu kudoktrin ke dalam pikiranku dan kubisikkan ke dalam hatiku dan hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikah dengannya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku kepadanya. Aku menikah karena keinginan keluarga besar terutama Orangtuaku, dan itu membuatku sangat membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah dengan terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku didepan orang lain tapi suamiku tau bahwa aku belum bisa menerimanya, bahasaku kasar kepadanya, walapun satu rumah aku sering Chat menggunakan WhatsApp karena males mau biacara langsung. Meskipun begitu, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Jujur aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain dan aku tahu hukum agama jika aku menolaknya, Neraka pasti sebagai balasanku.
Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan, bagaimana dengan keluargaku, bagaimana jika mereka shock dan penyakitnya kambuh gara-gara aku yang meninggalkan suamiku, aku gak punya dukungan dari keluarga. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami idaman suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja, Malas dan menjadi Ratu, suamiku harus ikuti ego ku, aku tidak mau dan tidak suka berkumpul dengan keluarga suamiku, hanya jika terpaksa saja aku ketemu dan itupun aku menahan sekuat hati karena sejujurnya aku belum bisa menerima mereka semua menjadi bagian dari hidupku. Aku sangat senang jika keluargaku mengunjungiku ke rumah kecilku yang disiapkan oleh suamiku / keluarganya. Aku menunjukkan kebahagiaan yang sebenarnya itu hanya pura-pura saja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah menjadi tanggungjawabnya setelah apa yang dia lakukan padaku.
Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagdia dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, aku benar-benar ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku marah jika melihat dia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika dia memakai barang-barangku HPku ataupun laptopku, meskipun hanya untuk menyelesaikan kerjaannya.
Aku marah sekali jika dia menggantung bajunya di hanger bajuku, aku juga marah kalau ddia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ddia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku. Semua keluarganya kublokir dari aplikasi dan hanya dia yang bisa menghubungiku. Aku beralasan tidak memekai aplikasi Chat karena ingin fokus pada keluarga kecilku sendiri, padahal sebenarnya karena aku malas berhubungan dengan mereka.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, Walpaun keluargaku sangat menginginkannya bahkan saya akan dibangunkan sebuah rumah baru jika aku melahirkan anak sebagai hadiah untuk cucu mereka. tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya dia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun dia tahu dia membiarkannya.
Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya karena terlalu berbahaya untuk keselamatanku dan tentunya nyawa bayi tersebut harus dipertahankan. Ataukah suamiku yang sengaja mengarahkan dokter untuk menyarakanku agar tidak mengugurkan bayiku. Dan itu makin membuatku membencinya
Itulah kemarahan terbesarku padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengalami mual muntah dan tidurpun tidak nyenyak, aku menyesal hamil anakku. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi.
Dengan senang hati dia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama anak kami.
Waktu berlalu hingga tak terasa anak kami berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak kami sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak kami ke sekolah. Hari itu, dia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun umiku.
Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara umi. Yaah, karena merasa terjebak dengan pernikahanku, aku sebenrnya juga tidak menyukai kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak kami. Tetapi hari itu, dia juga memelukku sehingga anak kami menggoda ayahnya. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak kami. Dia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai sejak lama. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami.
Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farah meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, HPku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali.
Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku.
Si pemilik Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengar kalau dompetku ketinggalan membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan deraspun turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi HP suamiku.
Tak ada jawaban sama sekali meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku dia sudah menjawab. Aku mulai merasa tidak enak dan akan marah banget padanya.
Teleponku ddiangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku.
Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, bu. Apakah Ibu ini istri dari bapak Rendy?” kujawab pertanyaan itu segera.
Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, dia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini dia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung.
Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya terdiam serumi bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku.
Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Dia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan mamanya yang shock.
Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan abi dan umiku serta mertuaku. Anak kami yang sangat terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah dia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami.
Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja.
Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam masjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal dia selalu mengatur apa yang kumakan. Dia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan.
Dia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang dia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang dia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu dia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya.
Aku hanya memasak untuk anak kami dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Dia bisa makan masakanku hanya kalau ada sisa. Diapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku.
Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Umi dan mertuaku membujukku makan.
Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, dari kamar mandi aku memanggilnya seperti biasa dan ketika itu malah umiku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap dia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku.
Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena dia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa.
Dulu aku begitu kesal jika dia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi gawaiku, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka dia membuat kopi tanpa alas di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus.
Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia sangat mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun dia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku.
Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahkan padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna.
Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak kami. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja.
Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang dia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga.
Entah darimana dia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupku dan anakku. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemuddian. Abiku datang bersama seorang notaris. Dia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat.
Surat pernyataan suami bahwa dia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anakku, dia menyertai uminya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak kita adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi kalian selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayangku susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayangku bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak kita. Lakukan yang terbaik untuk dia, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Allah memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Umi, Jagalah Umi dan jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, sayangku!
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau dia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan abahnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya dia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Umi, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya mi?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang dia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta umi untuk ayah? Cinta itukah yang membuat umi tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai umi dulu, seperti ayah mencintai kita berdua. Umi setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada umi dan Farah.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.
Sebarkan kisah inspiratif ini untuk pasangan baru supaya menyukuri apa yang Allah taqdirkan sebagai pasangannya.
Syukron Jaziilana
Ya Allah, sangat menginspirasi untuk terus bersyukur atas segala nikmat Nya. Sehat selalu.
Terimakasih Pak Ferdhy, sehat selalu Buat Bapak dan Keluarga
its very true sad story…:( 🙁
It’s time for you all to create another story / article for being posted
very good… and very sad
it’s inspiring story